SEJARAH DINASTI KERAJAAN MUNA


IKHTISAR

BUKU SEJARAH DINASTI KERAJAAN MUNA, LAODE RERE RAJA MUNA TERAKHIR BERGELAR AROWUNA

I. Kebesaran Sejarah Dinasti Kerajaan Muna.
Kebesaran dinasti kerajaan Muna dapat diketahui dari beberapa dokumen sejarah, antara lain sebagai berikut :

1. Dalam Epik Lagaligo disebutkan bahwa, di Sulawesi Selatan Raja Muna La Eli diberi gelar Remang Rilangik atau pembesar dari langit. Raja Muna La Eli juga pernah menjadi Raja di Luwu, begitu juga anak La Eli bernama Runtu Wulau menjadi Raja Luwu. Raja Muna La Eli bersama iparnya Sawerigading menaklukan pemerintahan Jawa-Wolio.

2. Raja Muna ke-7 La Kilaponto anak dari Raja Muna ke-6 Sugimanuru atau di Buton dikenal dengan nama Murhum merangkap menjadi Lakina Wolio ke-6 dan Sultan Buton ke-1 selama 46 tahun. Dan dilanjutkan oleh anak-anaknya, cucunya, buyutnya dan cicitnya menjadi Sultan Buton, sehingga disimpulkan bahwa umumnya Sultan di Buton adalah orang Muna (Lihat : La Niampe dan Abdul Syukur).

Jabatan Lakina Wolio setingkat jabatan Kino di kerajaan Muna. Dan di kerajaan Muna terdapat 28 Kino. Dua Kino diantaranya yaitu Kino Lakudo dan Kino Bombanowulu dibawah ke Buton oleh Raja Muna Lakilaponto ketika merangkap menjadi Lakina Wolio ke-6 dan sejak itu Lakudo dan Bombanowulu bergabung dengan Lakina Wolio dan semenjak itu  kedudukan Sultan Buton disederajatkan dengan kerajaan Muna. Sedangkan jabatan Lakina selanjutnya diberikan kepada Kaledupa dan Pulau-pulau Tukang Besi yang sederajat dengan Kepala Distrik saat itu (Lihat : J. Couvreur).

3. Menurut pakar hukum Belanda Prof. Van Vollen Hoven, dikutip Prof. Ter Haar Ahli Hukum Adat Indonesia, menjelaskan bahwa dalam jazirah Tenggara Sulawesi hanya ada satu suku, yaitu suku Muna yang disejajarkan dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia.

4. Selanjutnya Prof. Ter Haar, menjelaskan bahwa di Muna ada adat, yaitu menerangkan bawa barang-barang dari rumah yang satu tidak boleh beralih ke rumah yang lain.
Meskipun yang dijelaskan tersebut di atas terkait dengan pembagian harta peninggalan, namun Prof Ter Haar menjelaskan pula bahwa di lain-lain tempat dalam lingkungan situ, maksudnya di Muna terdapat peribahasa hukum adat yang bermaksud sama dengan itu.

Penjelasan Prof Ter Haar jika dikaitkan dengan silsilah raja-raja Muna, menunjukkan bahwa sebenarnya yang dimaksud Prof Ter Haar adalah adat Sampuha dalam pengangkatan raja di kerajaan Muna atau kerajaan Muna adalah kerajaan dinasti yang rajanya berasal dari garis keturunan raja atau raja yang terlahirkan (Is Born). Dan sebagai raja Muna terakhir adalah Laode Rere dan oleh Dewan Syarat Muna memberi gelar “ OMPUTO AROWUNA” karena Laode Rere terakhir yang bergelar Asli Raja Muna, ( Lihat : J. Couvreur dan Silsilah Raja Muna).

II. Berakhirnya Pemerintahan Dinasti Kerajaan Muna
Diawali dengan pembentukan Pemerintahan Swapraja atau Pemerintahan Otonomi yang diberikan Belanda kepada daerah-daerah jajahannya dengan syarat harus menandatangani perjanjian atau Korte Verklaring, maka semenjak tahun 1873 status kesultanan Buton menjadi sebagai bagian dari pemerintahan jajahan Belanda berdasarkan perjanjian Belanda dan Sultan Buton tahun 1873, dan terakhir dilanjutkan dengan perjanjian (Korte Verklaring) tanggal 2 Agustus 1918, mempertegas status Buton sebagai Otonomi dalam pemerintahan Hindia Belanda atau disebut Pemerintahan Swapraja atau Afdeeling Buton dan Laiwoi (Lihat : Arsip Nasional dan Susanto Zuhdi)
Tanggal 25 Mei 1927 Asisten Residen P. Baretta memberlakukan Korte Verklaring tanggal 2 Agustus 1918 secara efektif di kerajaan Muna dan raja Muna saat itu adalah Laode Rere.

Raja Muna Laode Rere menolak korte verklaring tanggal 2 Agustus 1918 dan pada saat mengikuti rapat para raja-raja di Buton dengan tegas dan sambil memukul meja menolak kebijakan Belanda tersebut, karena kerajaan Muna tidak menerima korte verklaring tanggal 2 Agustus 1918 yang menempatkan kerajaan Muna sebagai Sub Ordinat dari Swapraja Buton dan Laiwoi dan Buton ditempatkan untuk mengawasi kerajaan Muna. Hal ini merupakan praktek politik devide et impera yang dijalankan Belanda di Buton.

Sebagai konsekwensi dari tindakan yang berani, tegas dan keras yang dilakukan raja Muna Laode Rere menolak kebijakan Belanda, nampaknya dimanfaatkan oleh Sultan Buton dengan melaporkan kepada Belanda melalui Gubernur Sulawesi dan Daerah Taklukannya di Makasar bahwa raja Muna Laode Rere sebagai pemberontak yang melawan Belanda di Muna dan berdasarkan laporan tersebut, maka raja Muna Laode Rere bersama kabinetnya dibubarkan tahun 1928, sekaligus menandai berakhirnya system kerajaan di Muna.

Dan mantan pejabat kerajaan diberi gelar oleh Dewan syarat Muna, antara lain kepada Dhesi Kabawo Laode Haerun Baradhai gelar Arokapala, Laode Umara Meino Tongkuno gelar Aro Jupanda, La Bholo Mieno Lawa gelar Aro Adhati, Mieno Katobu gelar Aro Apuro (Lihat : La Kimi Batoa).

Selanjutnya Belanda melakukan perubahan pemerintahan di Muna dari kerajaan menjadi pemerintahan Lakina. Dan diangkat Laode Dika sebagai Lakina Muna berdasarkan keputusan pemerintah otonom (Zelf Bestuur) atau Pemerintahan Swapraja No. 15 Tahun 1930 tanggal 9 Agustus, dan bukan keputusan sultan Buton.

Dalam perjalanannya, Lakina Muna Laode Dika juga menolak kebijakan Belanda untuk memerintahkan kepada Lakina Muna Laode Dika untuk membayar pajak kepada Belanda melalui sultan Buton.

Alasan penolakan karena peraturan-peraturan Swapraja Buton dan Laiwoi tidak berlaku di Muna karena mendapat penolakan dari raja Muna sebelumnya, dalam hal ini raja Muna Laode Rere (Lihat : J. Couvreur)
Tahun 1947 secara resmi Laode Pandu menerima pemerintahan Swapraja diberlakukan di Muna dan berdasarkan Stbl No.17 Tahun 1947 Kepala Pemerintahan di Muna saat itu disebut New/Neo Swapraja Muna atau Raja Muda Muna atau di Muna disebut Wakilino Wuna (Lihat : Makkulau Sejarawan Sulseldan La Kimi Batoa).

Pemberian jabatan sebagai New/Neo Swapraja Muna sempat dipermasalahkan oleh Laode Pandu, namun Asisten Residen saat itu tetap dengan jabatan tersebut. Sebagai Raja Muda Muna yang berada dalam Struktur pemerintahan Swapraja Buton dan Laiwoi, Muna saat itu dijadikan sebagai Sub Ordinat atau bagian dari Pemerintahan Swapraja Buton dan Laiwoi dan praktis Muna secara taktis dibawah pengawasan sultan Buton, sesuai korte verklaring tanggal 2 Agustus 1918.

Dan sebagai bukti sejarah bahwa di era pemerintahan Laode Pandu system kerajaan Muna telah berakhir, dapat dilihat dari status Laode Pandu sebagai Kepala pemerintahan New Swapraja atau Raja Muda Muna atau Wakilino Wuna begitu berakhir diberikan hak pensiun sebagai Pegawai Negeri dalam Pemerintahan Swapraja Buton dan Laiwoi.

Dalam buku setebal 350 halaman ini, penulis juga membahas mengenai silsilah dinasti raja Muna dan hubungannya dengan sultan-sultan di Buton. Serta dampak negative setelah bergabungnya Sultan Buton dalam pemerintahan jajahan Belanda terhadap kerajaan Muna, seperti terjadinya perebutan kekuasaan yang dilakukan aparat kesultanan Buton Sapati Baluwu

terhadap Raja Muna Laode Ngkadir Gelar Sangia Kaindea dan perebutan kekuasaan yang dilakukan Kapitalao Lohia Laode Ngkada terhadap Raja Muna Laode BulaEng Gelar Sangia Laghada, namun pada akhirnya Laode Ngkada gagal merebut kekuasaan dan justru melarikan diri menuju Kendari bersama 300 orang pengikutnya atau dalam bahasa Muna melarikan diri bersama dengan Katende Wunanya. Dan Laode Ngkada sesampai di Kendari menikah dengan Pasiya Daeng Mataone. (Lihat : Basrin Malemba Dkk Sejarawan Unhalu).

Dan selanjutnya, penulis juga membahas mengenai Undang-undang Bharata versi Sultan Buton ke-29 Idrus Kaimuddin, dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek structural, substansi dan cultural, baik sebelum dan sesudah penjajahan Belanda.

Serta pada bagian akhir dalam buku ini, penulis menjelaskan ajaran spiritual Arowuna Laode Rere mengenai kepemimpinan.

Kepemimpinan di Muna menurut Arowuna Laode Rere, yang pertama harus memiliki keberanian sebagai awal untuk menjalankan pemerintahan atau dalam bahasa Muna disebut “ Parintah “. Hal ini nampaknya sejalan dengan pemikiran Filosof Aristoteles, dimana beliau mengatakan bahwa jika seorang pemimpin tidak memiliki keberanian maka pemimpin tersebut sebagai musuh yang paling berbahaya dimuka bumi ini. Dan kesuksesan seorang pemimpin datang dari orang yang berani bertindak.

Kedua, pemimpin memiliki kesabaran, kebaikan dan kerendahan hati atau tidak sombong. Ketiga, pemimpin itu dapat melindungi rakyatnya dari ancaman penyakit dan kelaparan tanpa pamri. Keempat berilmu, jujur dan tidak silau dengan kekayaan harta.

Selanjutnya menurut Arowuna Laode Rere, bahwa di Muna tidak mengenal golongan budak, namun yang ada sifat budak yaitu menyembah atau tunduk kepada sesama manusia atau dalam bahasa Muna disebut “ Dofeompu “ dan sifat dofeompu bisa terjadi dalam golongan masyarakat adat Muna manapun.

Di Muna ada tiga golongan masyarakat adat, yaitu kaomu, walaka dan maradika. Ketiga golongan ini menurut Arowuna Laode Rere adalah keturunan dari raja Muna Sugimanuru, yang mana satu sama lain tidak dipertentangkan karena merupakan satu kesatuan yang diibaratkan kerangka manusia terdiri dari kepala (kaomu), perut (walaka) dan kaki (maradika). Ketiganya masing-masing mempunyai fungsi untuk membentuk manusia seutuhnya.

Eksistensi buku ini sejatinya tidak dimaksudkan untuk menghujat, namun lebih dari itu menjadikan sebuah nilai sejarah untuk pelajaran kepada kita semua, khususnya masyarakat Muna dan Buton untuk kepentingan pembangunan kedepan.

BACA JUGA :

BACA JUGA :

2 tanggapan untuk “SEJARAH DINASTI KERAJAAN MUNA

Silakan berkomentar dengan santun

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.